VII - 7
My Enemy and I
BRAKKK......!!!
“Pergi sana! Ini itu tempat makan langganan kita. Jadi jangan berani-berani buat duduk di tempat ini lagi!” Semua anak SMA Scalyrich yang sedang asyik makan di tempat makan langganan Niko CS pun pergi. Kecuali dua orang, yaitu Nino dan Rendi.
“Eh! Kalian berdua nggak denger apa kata bos gue? Kalian itu disuruh pergi. Kenapa sekarang masih asyik-asyikan makan? Ini itu tempat kita.” kata Kris.
“Emang yang beli bangku ini kalian? Atau kalian yang punya sekolah ini?” kata Nino.
“Kita emang bukan orang yang beli bangku dan punya sekolah ini. Tapi kita adalah penyumbang uang terbesar di sekolah ini. Jadi lo nggak usah macem-macem!” kata Niko dengan nada mengancam.
“Emangnya kalian kerja apa sampai bisa jadi penyumbang uang terbesar di sekolah ini? Pengusaha? Atau pejabat?” tanya Rendi dengan nada menantang.
“Haduh... kalian itu bodoh atau gimana sih? Yang jadi penyumbang uang terbesar dan kerja jadi pengusaha itu ya orangtua kami. Dan kami ini adalah anak mereka. Jadi ya kami ikut termasuk dalam daftar itu.” Niko CS pun mulai menyombongkan diri mereka.
“Yang punya uangnya kan orangtua kalian. Jadi mana mungkin kalian bisa ikut jadi daftar penyumbang uang terbesar di sekolah ini. Kerja aja nggak punya. Punya uang darimana kalian bisa jadi penyumbang uang terbesar.” kata Nino serius.
“Ngimpi tahu nggak!” kata Rendi sambil tertawa. Niko CS pun marah mendengar kata-kata Nino dan Rendi. Terutama Niko sendiri. Dia bener-bener nggak suka kalau dihina-hina kayak gini.
“Sekarang mendingan kalian berdua pergi aja! Sebelum aku ngambil cara kekerasan untuk ngusir kalian dari sini. Aku bener-bener lagi males berurusan sama siapapun.” Nino dan Rendi pun akhirnya memutuskan untuk pergi.
Meskipun kalian udah mau pergi. Tapi kalian udah termasuk nyari masalah sama gue. Gue nggak bakal biarin kalian tenang selama sekolah di sini. Nggak bakal gue biarin ada orang yang ngehina gue. Jadi siap-siap aja kalian! Niko menatap sinis kepergian Nino dan Rendi dengan penuh dendam dan kebencian.
Setelah tempat makan langganan Niko, Richi, Arya, Kris, dan Ozy kosong, mereka langsung menempatinya dan segera memesan makanan dan minuman dengan sesuka hati mereka.
“Bu, kita pesan nasi goreng spesial kayak biasanya ya. Tambah burger jumbo. Terus minumnya jus alpukat, strawberry, milk shake, susu coklat panas, sama es teh aja deh. Jangan lupa dicatet ya, Bu! Jangan sampai salah!” Bu Tiwi -penjual di kantin- hanya mengangguk mendengar semua pesanan Niko. Meskipun mereka begitu, mereka kan tetap anak sekolahan yang punya sopan santun dan etika.
Niko CS adalah geng yang paling eksis, sombong, dan ditakuti di seantero sekolah. EKSIS, gimana mereka nggak eksis. Mereka semua adalah anak OSIS. Apalagi Niko adalah ketua OSIS. Jadi, ya udah pasti eksis. Selain itu, mereka juga ikut ekstrakulikuler basket yang udah pasti digandrungi banyak cewek. Jadi tambah eksis aja deh.
SOMBONG, gimana mereka nggak sombong. Mereka semua kan anak-anak dari orangtua yang memiliki andil paling besar dalam memberi uang sumbangan untuk sekolah. Apalagi mereka anak-anak OSIS. Jadi sombongnya lebih menjadi-jadi.
DITAKUTI, gimana mereka nggak ditakuti. Mereka kan anak orang kaya yang punya andil besar di sekolah. Jadi apapun bisa mereka lakukan kalau ada anak yang minta berurusan dengan mereka. Dikeluarkan dari sekolah adalah hal yang paling ditakuti dari anak-anak yang sudah berurusan dengan mereka.
“Ini makanannya.” kata Bu Tiwi sambil meletakkan makanan dan minuman pesanan Niko CS di meja makan langganan mereka.
“Makasih ya, Bu. Wah komplit! Bu Tiwi memang hebat deh. Nggak pernah ada yang ketinggalan pesanan kami.” Bu Tiwi hanya mengangguk dan langsung kembali ke warungnya. Mereka langsung melahap makanan pesanan mereka.
“Eh... gue mau ke toilet dulu ya. Kalian duluan aja!” kata Niko setelah keluar dari kantin. Teman-temannya hanya mengangguk. Niko langsung mengganti arah jalannya dari toilet menuju ke kelas Nino. Dia udah marah sama Nino dan ingin memperingatkannya.
“Gue mau ngomong sebentar sama lho. Tapi nggak di sini.” Nino langsung mengernyitkan dahi. Dia tahu kalau Niko pasti akan melakukan sesuatu padanya. Tapi dia tidak menyangka kalau akan secepat ini.
“Oke. Kita mau ngomong di mana?” kata Nino penasaran.
“Ikut gue!” Nino pun mengikuti Niko. Dan langkah kaki mereka terhenti di taman belakang sekolah. Apa yang akan dia lakukan sama gue? Nino sudah bersiap untuk menerima apapun yang akan dilakukan Niko. Tapi dia juga akan mengambil ancang-ancang untuk melawan tindakan Niko.
“Mau ngapain kita di sini?” Niko berbalik menghadap Nino. Dan tanpa pikir panjang, dia langsung meluncurkan kepalan tangannya pada pipi Nino. Nino langsung terkesiap dan tak bisa berkata apa-apa.
Niko menarik kerah baju Nino dan menyuruhnya untuk berdiri. “Gue peringatin sama lo ya, Jangan pernah hina gue lagi! Dan satu hal yang harus lo ingat, lo udah jadi musuh gue sekarang. Jadi gue nggak bakal biarin hidup lo tenang.”
“Terserah lo mau ngapain gue. Tapi lo juga harus inget, kalau gue juga nggak bakal bikin hidup lo tenang.” kata Nino yang mengancam balik Niko sambil memberikan senyum licik dan penuh arti. Niko pun melepaskan kerah baju Nino dengan kemarahan yang lebih memuncak lagi. Setelah itu Niko langsung meninggalkan Nino tanpa berkata-kata.
“Lo darimana, Nik?” Niko tidak menjawab dan langsung menuju ke bangkunya yang disertai dengan membanting tasnya. Anak-anak Niko CS bingung melihat tingkah Niko dan wajahnya yang berubah seperti orang kesurupan.
Tiba-tiba Niko marah-marah, bahkan sampai membentak teman-temannya yang tergabung dalam gengnya. Seumur-umur, Niko nggak pernah marah sampai kayak orang kesurupan gini. Kalau marah, biasanya dia cerita sama anggota gengnya dan mereka ngerencanain sesuatu untuk ngebuat orang itu kapok. Tapi sekarang, Niko nggak cerita sama sekali ke gengnya. Amarah dan dendamnya di pendam sendiri dan kemarahannya di luapkannya pada gengnya.
Akhirnya Richi, Arya, Kris, dan Ozy memutuskan untuk mendatangi Niko dan merayunya agar Niko mau menceritakan apa yang sedang terjadi padanya. Sayangnya, usaha mereka gagal total. Niko nggak mau cerita sama sekali, bahkan dia malah memarahi Richi, Arya, Kris, dan Ozy karena sudah mengusik dirinya. Mereka berempat pun hanya bisa diam.
“Nik, lo ikut olimpiade MIPA kan?” tanya Richi. Niko hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan Richi.
Nino dan Rendi mendatangi papan pengumuman yang sedang dikerumuni oleh anak-anak Scalyrich, termasuk Niko CS. “Nin, lo harus ikut olimpiade MIPA ini nih! Lo kan jagonya.” kata Rendi membanggakan. Nino hanya mengangguk dan memberikan seulas senyum.
Apa! Si Nino juga ikut olimpiade MIPA ini. Berarti dia juga bakal jadi saingan gue. Dia bener-bener mau buat hidup gue nggak tenang. Lihat aja, dia pasti kalah! Senyum licik dan berani keluar dari mulutnya yang kecil dan tipis. Setelah itu mereka langsung kembali ke kelas masing-masing.
Hari saat olimpiade MIPA pun tiba. Nino dan Niko sudah mempersiapkan diri mereka masing-masing. Secara mental maupun materi yang akan dilombakan. Nino yang sudah berjanji akan mengusik kehidupan Niko pun sengaja mendatangi Niko sebelum lomba dimulai.
“Hai, Nik.” sapa Nino.
“Ngapain lo ke sini?” tanya Niko tanpa basa-basi.
“Gue cuma mau ngasih semangat kok. Semoga nanti lo menang ya!” Niko mulai curiga dengan perkataan dan sikap Nino. Mengapa tiba-tiba Nino baik padaku? Dia kan musuhku. Lalu apa maksud perkataannya itu? Dia itu mau menyemangatiku atau mau mengejekku? Niko menatap sinis Nino.
“Apa tujuan lo sebenernya?”
“Kenapa nada bicara lo sinis banget sih? Gue kan cuma mau nyemangati elo.”
“Nggak perlu basa-basi. Gue tahu tujuan lo buat ngusik hidup gue itu, bener-bener lo jalanin. Karena gue emang bener-bener terusik sama kedatangan lo. Tapi asal lo tahu aja ya, yang menang pasti gue. Meskipun gue masuk di sini tanpa beasiswa kayak elo, tapi sebenernya gue bisa dapetin beasiswa itu. Sayangnya, gue kasian sama orang-orang yang nggak mampu kayak lo. Karena gue tahu kalau lo pasti lebih ngebutuhin beasiswa itu. Sedangkan gue masih mampu buat ngebayar biaya sekolah gue. Meskipun biaya sekolah di sini itu nggak murah. Jadi mendingan lo nggak perlu kepedean dulu.” kata Niko memperingatkan.
Scalyrich adalah SMA elite yang terkenal dengan murid-murid yang kaya raya. Nama sekolah ini saja sudah ada kata-kata rich yang berarti kaya. Jadi sudah pasti sekolah ini berada dalam keadaan serba berkecukupan. Terutama dalam hal sarana prasarana sekolah.
“Wow...! dalem banget ya omongan lo. Tapi terserah lo aja deh. Kita lihat aja nanti, siapa yang menang dan siapa yang kalah.” kata Nino dengan pede-nya.
“Fine.” kata Niko mantap.
Saat perlombaan dimulai, semua peserta pun memasuki ruang maisng-masing. Niko dan Nino berada di ruang yang sama. Niko sangat merasakan kehadiran Nino yang begitu menyiksa dirinya. Dia tidak yakin konsentrasinya akan fokus pada soal-soal yang ada di depannya nanti.
“Saudara Niko?” tanya seorang laki-laki setengah baya. Niko mengacungkan telunjuk tangan kanannya.
“Anda boleh keluar sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan.” Niko langsung keluar dan menemui laki-laki tersebut. Niko segera mendatangi penjaga ruang lombanya dan meminta izin untuk tidak melanjutkan lombanya. Setelah mendapat izin, Niko langsung pulang.
“Papa...” Niko memeluk jazad papanya yang meninggal karena serangan jantung sambil menangis. Dia tidak menyangka akan kehilangan orang yang disayanginya itu secepat ini. Niko tidak dapat berkata apa-apa lagi kecuali hanya menangis.
Mama Niko menangis sambil berteriak-teriak. Niko tahu jika mamanya juga pasti shock. Tapi Niko juga sadar kalau ini sudah takdir. Jadi dia hanya bisa berusaha untuk menenangkan mamanya. Dan lebih beratnya, tidak ada saudara kandung yang dapat menghiburnya. Ya, Niko adalah anak tunggal. Dan dia tidak tahu apa-apa tentang cara berbisnis dan mengurus perusahaan.
Nino yang mendengar hal itu keesokan harinya, langsung merasa bersalah. Dia tahu kalau dia ingin hidup Niko terusik. Tapi tidak dengan cara seperti ini. Dia ingat bagaimana berjasanya Niko bagi kehidupannya.
Seminggu setelah kematian papanya, Niko memilih untuk izin ke sekolah untuk tidak mengikuti pelajaran terlebih dahulu. Namun, Niko tetap tidak masuk sekolah walaupun waktu izinnya sudah berakhir. Selama sebulan Niko tidak masuk sekolah. Nino pun mulai khawatir. Dia pun memutuskan untuk mengunjungi rumah Niko.
“Permisi...” teriak Nino di depan pintu yang besar dan mewah sambil memencet bel.
Ada seorang wanita paruh baya yang membuka pintu secara perlahan dan berhati-hati. Wanita itu terlihat seperti seorang pembantu rumah tangga. “Siapa ya mas?” tanya wanita itu.
“Saya temannya Niko. Nikonya ada?”
“Ada mas. Tapi...”
“Tapi apa, Bi?”
“Lebih baik sekarang mas masuk dulu saja. Nanti akan saya ceritakan.” Nino pun masuk ke rumah yang megah itu. Pembantu Niko menyuguhkan minuman pada Nino. Setelah itu pembantu Niko yang bernama Bik Minah pun duduk.
“Diminum mas!” Nino mengangguk dan meminum minuman yang telah disuguhkan Bik Minah.
“Katanya tadi bibi mau cerita. Mau cerita apa? Kalau boleh saya mau ketemu Niko, Bi.” kata Nino yang masih berusaha bertemu dengan Niko.
“Sebenarnya den Niko ada mas. Tapi, dia tidak bisa ditemui.”
“Kenapa?”
“Saya juga tidak tahu pastinya mas. Tapi sepertinya, den Niko sedang frustasi. Dia tidak mau keluar kamar lagi setelah seminggu kepergian tuan. Den Niko tidak mau keluar dari kamar. Makan pun hanya sehari sekali. Apalagi sekarang nyonya juga sudah dibawa ke Rumah Sakit Jiwa karena tidak bisa menerima kepergian tuan. Dan sekarang perusahaan tuan nggak ada yang ngurus. Seharusnya yang ngurus perusahaan tuan itu adalah den Niko. Tapi gara-gara sekarang den Niko begini, jadi untuk sementara perusahaan tuan dihandle sama orang kepercayaan tuan.”
“Seberat itu ya beban yang harus ditanggung Niko? Tapi kenapa sikapnya malah kayak gini. Seharusnya dia cari jalan keluar, bukan malah berdiam diri di dalam kamar dan nggak ngelakuin apa-apa kayak gini. Apa dia nggak mikirin masa depannya?”
“Sabar mas. Sebenarnya den Niko itu bisa melakukan sesuatu. Tapi, nggak ada orang yang nyemangati dia. Jadi den Niko itu seperti bola yang berhenti yang nggak akan bergerak kalau nggak ada yang memberi dorongan.”
“Kalau gitu bolehkan saya menemui Niko, Bi. Kalau nggak ada orang yang bisa jadi pendorongnya untuk melakukan sesuatu, saya akan berusaha untuk menjadi pendorongnya.”
“Kalau saya sih boleh-boleh saja mas. Tapi den Niko mau atau tidak. Soalnya kalau dia nggak mau, dia pasti marah-marah. Saya jadi takut mas.”
“Tenang, Bi. Saya nggak akan nyerah kok buat ketemu dengan Niko. Kalau sekarang saya nggak berhasil, saya akan mencoba besok dan besoknya lagi.”
“Kalau gitu ikut saya mas.” Nino dan Bik Minah menuju ke kamar Niko yang berada di lantai dua. Setelah itu, Nino mulai mengetuk pintu kamar Niko dengan perlahan. Nino diam sejenak untuk menunggu reaksi Niko.
Nino pun mencoba untuk memanggil Niko. “ Niko... lo ada di dalem kan? Ini gue, Nino.” Tak beberapa lama, Niko langsung berteriak untuk menjawab panggilan Nino.
“Mau ngapain lo ke sini? Mau ngusik hidup gue lagi? Nggak perlu repot-repot, hidup gue udah cukup terusik sekarang.”
Nino tersenyum mendengar reaksi Niko. “Gue emang ke sini buat mengusik hidup lo lagi. Tapi bukan untuk hal yang negatif. Jadi izinin gue untuk masuk. Gue mau ngomong sesuatu sama lo. Dan lo wajib dengerin kata-kata gue yang satu ini.”
“Mau ngomong apa sih lo? Gue lagi nggak mau diganggu. Gue pingin sendiri.”
“Bukannya 3 minggu ini lo udah sendiri ya? Emang masih kurang?”
“Masuk aja deh lo.”
Niko tersenyum dan merasa sangat bahagia. “Yakin?” tanya Nino menggoda.
“Kalau lo nggak mau, ya nggak usah masuk.”
“Gue masuk aja deh.” Nino membuka pintu kamar Niko dan memasuki kamarnya yang terlihat masih rapi. Nino sedikit tidak percaya. Katanya Niko frustasi dan suka marah-marah, tapi kenapa kamarnya rapi seperti ini?
“Hai, Nik!” sapa Nino.
“Mau ngapain lo ke sini? Gue cuma kasih lo waktu 15 menit untuk ngomong sama gue. Karena gue masih ingin sendiri. Jadi jangan lama-lama ngomongnya!”
“Siap bos.”
“Tunggu! kenapa lo jadi baik dan care gini sama gue? Lo nggak punya maksud tertentu kan?”
“Pikiran lo buruk banget sih sama gue. Gue itu ke sini baik-baik dan tanpa maksud tertentu. Kalau soal tiba-tiba gue care, nanti gue ceritain semuanya ke elo.”
“Kalau gitu cepetan ceritanya.”
“Oke. Sebenernya gue mau ngakuin sesuatu sama lo. Meskipun kita jadi musuh baru-baru ini, tapi sebenernya gue nggak pernah menganggap lo musuh gue. Gue selalu menganggap lo adalah orang yang paling berpengaruh dalam hidup gue.”
“Kenapa bisa gitu?”
“Makanya dengerin dulu! Gue kan belum selesai ceritanya. Lo inget nggak dulu gue itu gimana? Dulu itu, gue culun dan nggak pernah dapet nilai 70. Ya intinya gue itu nggak pinter. Tapi setelah gue lihat elo, gue iri sama lo. Lo itu ganteng, keren, bijaksana, pinter, eksis, dan mungkin baik. Di mata gue, lo adalah inspirasi gue yang datang secara tiba-tiba, tapi berwatak perfect.”
“Jadi gue dulu jadi inspirasi lo buat maju kayak sekarang?”
“Yes. Gue serasa beruntung punya inspirasi kayak lo. Lo udah berhasil buat diri gue berubah. Dan setelah gue berhasil jadi lebih baik, gue pingin lihat seberapa keberanian lo buat ngehadapin gue. Tapi sekarang lo malah jadi kayak gini. Jujur gue sedikit kecewa. Tapi gue sadar kalau beban yang lo pikul itu emang berat banget. Dan gue yakin kalau lo pasti bisa ngehadepin semuanya.”
“Jadi apa maksud lo yang sebenernya? Gue masih nggak tahu.”
“Haduh! Lo itu nggak tahu atau pura-pura nggak tahu sih? Lo kan pinter. Masa’ gitu aja nggak tahu? Maksud gue itu, lo itu nggak boleh gampang nyerah dan lepas tanggung jawab kayak gini. Lo harus berubah!”
“Oke. Masalahnya nggak ada orang yang nyemangati dan bikin gue berubah sekarang. Terus siapa yang bakal jadi inspirasi gue?”
“Kenapa harus nyari jauh-jauh di luar sana? Orang di depan lo ini kan udah bisa lo jadiin inspirasi. Emang gue nggak pantes ya buat dijadiin inspirasi sampai-sampai lo nggak kepikiran sama gue sama sekali.”
“Kebalik dong nanti.”
“Ya nggak apa-apa. Yang penting kan lo bisa bangkit. Itu lebih penting tahu! Oh iya, ada satu berita penting lagi buat lo.”
“Apa?”
“Lo udah nyelesaiin soal-soal olimpiade lo yang waktu itu, kan? Ya meskipun lo itu mengundurkan diri.”
“Iya. Terus?”
“Sebenernya kalau lo nggak mengundurkan diri, lo itu yang menang. Tapi gara-gara lo mengundurkan diri, yang menang jadi gue, deh.”
“Lo itu mau ngasih pujian atau mau pamer, sih?”
“Ya mujilah. Mau ngapain lagi?”
“Terserah lo, ah. Gue capek. Ngomong-ngomong waktu lo kayaknya udah habis. Jadi sekarang mendingan lo pergi.”
“Ngusir gue nih ceritanya?”
“Bukannya udah perjanjian ya tadi?”
“Iya, sih. Gue mau pulang, kalau lo ngizinin gue untuk ngebantuin lo bangkit dan berubah dan lo mau janji untuk berubah.”
“Gue keberatan sama permintaan lo.”
“Kenapa keberatan? Malah menurut gue itu permintaan termudah yang mungkin bisa lo kabulin.” Nino tertawa kecil mendengar kata-katanya sendiri.
“Sebenernya gue juga nggak mau kayak gini. Tapi...” Nino diam sejenak untuk mendengarkan lanjutan kata-kata Niko.
“Tapi... gue nggak siap buat nerusin perusahaannya papa. Gue itu nggak bisa dan nggak tahu apa-apa tentang bisnis. Jadi gimana kalau nanti perusahaan papa bangkrut? Gue kan kasian sama mama. Maka dari itu gue sengaja berdiam diri di kamar untuk mikirin cara terbaik untuk keluarga gue nanti.”
“Oh gitu. Tenang! Gue bakal bantuin lo untuk mempelajari tentang bisnis. Gue juga bakal bantuin lo dalam ngejalanin bisnisnya papa lo. Gue yakin lo pasti bisa. Jadi kabulin permintaan gue ya! Please!”
“Hmm... Oke deh.”
Setelah pembicaraan yang cukup panjang di kamar Niko itulah, Niko dan Nino jadi dekat dan serasa seperti sahabat. Mereka belajar bersama dan saling membantu dalam menyelesaikan masalah keduanya bersama. Dan Niko, tetap mendapat kemenangan dari olimpiade MIPAnya. Semua berjalan lancar. Bahkan lebih lancar dari yang mereka duga.
5 tahun kemudian...
“Niko! Gimana kabar lo? Udah lama nggak ketemu, nih. Gue kira lo lupa sama gue, ternyata enggak. Selamat ya, sekarang lo udah sukses. Bahkan lo udah bisa bangun sekolah buat anak-anak yang kurang beruntung di luar sana. Gue salut sama lo.”
“Biasa aja kali! Ini semua kan juga karena bantuan lo.” Mereka berdua tertawa.
“Iya deh. Mending sekarang lo langsung resmiin sekolahnya terus kasih pidatonya juga. Semoga pidato lo bisa kasih banyak manfaat buat mereka.”
“Iya. Makasih, ya. Kalau gitu gue mau resmiin dulu.” Niko pun melakukan peresmian sekolahnya dengan memotong pita yang sudah di pasang terlebih dahulu. Setelah itu dia mulai menyampaikan pidatonya.
“Selamat pagi, adik-adik! Gimana kabarnya?”
“Baik, Kak!”
“Selamat, ya. Sekarang kalian sudah punya sekolah baru. Semoga kalian bisa jadi anak yang pintar, berbakti, dan bermanfaat suatu hari nanti. Di sini, kakak mau memberi nasihat yang berharga untuk kalian. Kakak cuma mau bilang sama kalian, kalau kalian harus bisa jadi anak yang berani, tidak mudah menyerah, dan yang pasti bisa banggain orang tua dong, ya.” lanjut Niko sambil tersenyum.
“Kak!” panggil salah satu anak.
“Kenapa?” tanya Niko heran.
“Kakak itu siapa?” tunjuk anak itu ke arah Nino.
Nino yang merasa dirinya ditunjuk, segera keluar dari tempat persembunyiannya, dan berjalan ke arah Niko. Niko pun tersenyum.
“Oh, ini. Ini namanya kak Nino, temen kakak. Kalian tahu nggak, kak Nino ini yang udah bantu kakak sampai sesukses ini, lho. Makanya kakak benar-benar berterima kasih sama kakak ini. Dan sekarang kakak udah menghargai makna sebenarnya hari pendidikan nasional itu. Satu hal yang harus dijauhi dari hidup kita. Jangan egois! Karena sebenarnya dulu, kak Niko dan kak Nino itu musuhan. Tapi gara-gara egois itu bisa kita buang dari diri kita, jadi sekarang kita bisa jadi sahabat.” jawab Niko sambil tersenyum ke arah Nino. Nino balas tersenyum dan mengangguk.
“Benar tuh, yang dibilang sama kak Niko. Kalian juga harus bisa menghargai makna dari hari pendidikan nasional. Karena sampai kapan pun pendidikan itu penting. Dan kalian juga harus ingat, kalau pendidikan itu bukan hanya di sekolah, tapi juga di lingkungan sekitar kalian. Banyak pelajaran yang negatif dan positif. Tapi kakak yakin, kalian semua di sini bisa membedakan mana yang baik, dan mana yang buruk buat kalian.” Semua anak yang mendengar pidato mereka pun bertepuk tangan.
Semenjak itu, Niko dan Nino selalu mengadakan acara yang sangat membantu untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Meskipun itu hanya acara kecil, tapi mereka selalu memberikan motivasi yang juga berasal dari kisah hidup mereka yang dapat membangkitkan semangat anak-anak Indonesia untuk mengutamakan pendidikan. Pendidikan umum, moral, seni, budaya, maupun pendidikan positif lainnya.